A. LATAR BELAKANG
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Banyaknya ragam genre sastra Bugis bisa dibaca dalam satu bab The Bugis, buku hasil penelitian Christian Pelras selama puluhan tahun di tanah Bugis. Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan Roger Tol di jurnal KITLV edisi 148-1 (1992: 82-102) memaksa tulisan ini lahir. Roger Tol membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, dalam tulisan tersebut. Tulisan ini akan membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni élong maliung bettuanna, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya.
B. Analisis pantun teka teki bugis ini menggunakan pendekatan instristik dan ekstrinsik sebagai berikut :
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Oleh: M. aan Mansyur
a) Struktur fisik
1) Diksi (pilihan kata).
Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi dari pilihan kata masing-masing, yakni sebagai berikut,
Ø Buaja artinya buaya, bulu’édé artinya gunung, untuk menyingkap makna dari kalimat ini adalah dengan kembali ke dalam budaya Bugis harus digabungkan yakni Buaja bulu’édé (buaya gunung) yang merujuk kepada macang artinya macan.
Ø Lompu artinya lumpur dan walannaé artinya sungai, kembali lagi kedalam aksara bugis kalimat ini digabung lompu walannaé (lumpur sungai) yang merujuk kepada kessi’ yang artinya pasir.
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang tidak logis. Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya Bugis.
Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan pantun tersebut. Masih ada satu lapis lagi yang harus disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Aksara Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan. Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Inilah yang menjadi rujukan dari penyingkapan makna dari pantun tersebut.
1) Larik/deret, baris dan sajak
Pantun teka-teki ini hanya memiliki satu bait hampir sama halnya dengan puisi lama dalam bahasa Indonesia yang hanya memiliki antara satu , dua sampai tiga bait, memiliki tiga baris dan bersajak a, b, b, a yang disesuaikan dengan barisnya. maka dalam pantun ini baris pertama adalah sampiran dan baris kedua-ketiga adalah isi, maka dalam pantun ini yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
b) Struktur batin
1) Tema atau Makna pantun diatas adalah ‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’. Ini adalah sebuah pilihan yang diberikan ditujukan kepada laki-laki untuk memilih dari kedua pilihan tersebut. Tentunya pilihan itu akan kembali kepada pembaca yang memahami makna dari pantun teka-teki tersebut.
2) Rasa/feeling yakni setelah menyingkap tabir atau makna dari pantun diatas tentunya akan memberikan suatu rasa yang begitu mendalam tentang suatu pilihan terhadap orang yang membacanya
3) Nada/tone yakni dari segi pembacaan pantun diatas yang menggunakan mimik penuh tanda Tanya ( ? ), atau menimbulkan suatu pertanyaan dan akan dijawab oleh siapa saja yang mendengarkan dan mengetahui maknanya seperti yang sudah dijelaskan tadi.
4) Amanat/pesan yang disampaikan pada pantun ini adalah memberikan suatu pilihan terhadap setiap orang yang paham akan maknanya yakni betapa pentingnya suatu pilihan yang tepat dan akan membawa kita kepada suatu kebahagiaan. Semua pilihan itu akan kembali kepada diri pribadi masing-masing, khususnya laki-laki.
Ternyata bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik. Keunikan bahasa seperti itulah yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda dibandingkan jenis puisi lainnya. Pantun tersebut yang telah menjadi salah satu karya sastra yang dijelaskan dalam tulisan ini mungkin pula akan membuat setiap orang mencintai bahasa daerahnya, khususnya orang-orang Bugis, belajar dan mencintai kembali bahasa dan aksara Bugis. Namun kini banyak orang kurang berminat pada sastra klasik, orang-orang juga mulai tak meminati bahasa daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar